Saat di sekolah menengah,
Soedirman mulai menunjukkan kemampuannya dalam memimpin dan berorganisasi, dan
dihormati oleh masyarakat karena ketaatannya pada Islam. Setelah berhenti
kuliah keguruan, pada 1936 ia mulai bekerja sebagai seorang guru, dan kemudian
menjadi kepala sekolah, di sekolah dasar Muhammadiyah, ia juga aktif dalam
kegiatan Muhammadiyah lainnya dan menjadi pemimpin Kelompok Pemuda Muhammadiyah
pada tahun 1937. Setelah Jepang menduduki Hindia Belanda pada 1942, Soedirman tetap mengajar.
Pada tahun 1944, ia bergabung dengan tentara Pembela Tanah Air (PETA)
yang disponsori Jepang, menjabat sebagai komandan Batalyon di Banyumas. Selama menjabat, Soedirman bersama rekannya sesama
prajurit melakukan pemberontakan, namun kemudian diasingkan ke Bogor.
Setelah Indonesia Memproklamirkan
kemerdekaannya pada
tanggal 17 Agustus 1945, Soedirman melarikan diri dari pusat penahanan,
kemudian pergi ke Jakarta untuk bertemu dengan Presiden Soekarno. Ia ditugaskan untuk mengawasi proses penyerahan diri
tentara Jepang di
Banyumas, yang dilakukannya setelah mendirikan divisi lokal Badan Keamanan Rakyat.
Pasukannya lalu dijadikan bagian dari Divisi V pada 20 Oktober oleh Panglima
sementara Oerip Soemohardjo, dan Soedirman bertanggung jawab atas Divisi
tersebut. Pada tanggal 12 November 1945, dalam sebuah pemilihan untuk
menentukan panglima besar TKR di Yogyakarta, Soedirman terpilih menjadi Panglima Besar,
sedangkan Oerip Soemohardjo yang telah aktif di militer sebelum Soedirman lahir, menjadi Kepala Staff. Sembari menunggu pengangkatan, Soedirman memerintahkan serangan
terhadap pasukan Inggris dan Belanda di Ambarawa. Pertempuran ini dan penarikan diri tentara Inggris
menyebabkan semakin kuatnya dukungan rakyat terhadap Soedirman, dan ia akhirnya
diangkat sebagai Panglima Besar pada tanggal 18 Desember. Selama tiga tahun
berikutnya, Soedirman menjadi saksi kegagalan negosiasi dengan tentara kolonial
Belanda yang ingin kembali menjajah Indonesia, yang pertama adalah Perjanjian Linggarjati, yang
turut disusun oleh Soedirman dan kemudian Perjanjian Renville yang
menyebabkan Indonesia harus mengembalikan wilayah yang diambilnya dalam Agresi Militer I kepada
Belanda dan penarikan 35.000 tentara Indonesia. Ia juga menghadapi
pemberontakan dari dalam, termasuk upaya kudeta pada 1948. Ia kemudian menyalahkan
peristiwa-peristiwa tersebut sebagai penyebab penyakit tuberkulosis-nya, karena infeksi tersebut, paru-paru kanannya
dikempeskan pada bulan November 1948.
Pada
tanggal 19 Desember 1948, beberapa hari setelah Soedirman keluar dari rumah
sakit, Belanda melancarkan Agresi Militer II untuk
menduduki Yogyakarta. Di saat pemimpin-pemimpin politik berlindung di kraton sultan,
Soedirman beserta sekelompok kecil tentara dan dokter pribadinya, melakukan
perjalanan ke arah selatan dan memulai perlawanan gerilya selama
tujuh bulan. Awalnya mereka diikuti oleh pasukan Belanda, tetapi Soedirman dan
pasukannya berhasil kabur dan mendirikan markas sementara di Sobo, di dekat Gunung Lawu. Dari tempat ini, ia mampu mengomandoi kegiatan
militer di Pulau Jawa, termasuk Serangan Umum 1 Maret 1949 di Yogyakarta, yang dipimpin oleh
Letnan Kolonel Soeharto. Ketika Belanda mulai menarik diri, Soedirman
dipanggil kembali ke Yogyakarta pada bulan Juli 1949. Meskipun ingin terus
melanjutkan perlawanan terhadap pasukan Belanda, ia dilarang oleh Presiden
Soekarno. Penyakit TBC yang diidapnya kambuh, ia pensiun dan pindah ke
Magelang. Soedirman wafat kurang lebih satu bulan setelah Belanda mengakui
kemerdekaan Indonesia. Ia dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Semaki,
Yogyakarta.
Kematian Soedirman menjadi
duka bagi seluruh rakyat Indonesia. Bendera setengah tiang dikibarkan dan
ribuan orang berkumpul untuk menyaksikan prosesi upacara pemakaman. Soedirman
terus dihormati oleh rakyat Indonesia. Perlawanan gerilyanya ditetapkan sebagai
sarana pengembangan esprit de corps bagi tentara Indonesia, dan rute
gerilya sepanjang 100-kilometer (62 mil) yang ditempuhnya harus diikuti
oleh taruna Indonesia sebelum lulus dari Akademi Militer.
Soedirman ditampilkan dalam uang kertas rupiah keluaran 1968, dan namanya diabadikan
menjadi nama sejumlah jalan, universitas, museum, dan monumen. Pada tanggal 10
Desember 1964, ia ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional Indonesia.
Ref
: http://id.wikipedia.org/wiki/Soedirman
Tidak ada komentar:
Posting Komentar